UU KSDAHE Dinilai Gagal Hadirkan Keadilan Hukum bagi Masyarakat Adat

Jakarta, GREENMIND.ID -Pengesahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) menuai sorotan tajam dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat. Mereka menilai UU tersebut mencerminkan masih timpangnya tata kelola lingkungan yang belum sepenuhnya mengakomodasi keadilan sosial bagi masyarakat adat.

Dalam forum diskusi publik yang berlangsung di Rumah AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), Rabu (6/5), Koordinator Advokasi Koalisi, Anggi Prayoga, menyatakan bahwa meskipun UU KSDAHE bertujuan memperkuat konservasi, ia justru menimbulkan kekhawatiran baru terkait hak atas tanah dan pengelolaan wilayah adat.

“UU ini punya semangat konservasi, tetapi belum menjawab kebutuhan untuk reformasi hukum yang adil. Kita masih melihat pendekatan eksklusi, bukan inklusi, terhadap komunitas adat yang selama ini terbukti menjaga alamnya,” ujar Anggi.

Ia menekankan bahwa revisi UU KSDAHE harus menjadi pintu masuk untuk menata ulang relasi antara negara dan masyarakat adat, terutama dalam hal pengakuan hak wilayah adat secara utuh.

“Tanpa perlindungan hukum kolektif yang jelas, masyarakat adat tetap rentan dikriminalisasi atas aktivitas tradisional yang sebenarnya menopang konservasi,” tambahnya.

Koalisi mencatat bahwa masih banyak wilayah adat yang belum mendapatkan pengakuan legal formal, meskipun telah diusulkan ke pemerintah melalui skema perhutanan sosial dan inventarisasi wilayah adat.

Sebagai tanggapan, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono, menyatakan bahwa UU KSDAHE tidak menghalangi proses pengakuan hutan adat, melainkan memperkuatnya.

“Kami tetap mendorong pengakuan wilayah adat melalui mekanisme yang ada, termasuk lewat peraturan pemerintah yang sedang disusun sebagai turunan dari UU ini,” ujarnya dalam pernyataan tertulis.

Namun, KLHK juga mengakui bahwa pembenahan sistem koordinasi lintas sektor, termasuk harmonisasi dengan kementerian ATR/BPN dan Kementerian Dalam Negeri, masih menjadi tantangan dalam pelaksanaan di lapangan.

Anggi menegaskan bahwa hal tersebut menunjukkan perlunya kebijakan hukum yang lebih sinkron dan berpihak. “Keadilan ekologis tidak bisa dibangun tanpa keadilan sosial. Sudah saatnya masyarakat adat dilihat sebagai aktor utama, bukan objek kebijakan semata,” tutupnya.

Dengan tantangan dan potensi yang ada, UU KSDAHE harus dilihat bukan sebagai titik akhir, melainkan awal dari perbaikan sistem hukum dan tata kelola lingkungan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua.

Bagikan ke :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *