Transparansi Lemah, RUU Konservasi Dinilai Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jakarta, GREENMIND.ID – Proses revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) kembali menuai sorotan. Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai revisi UU ini cacat secara formil dan mengabaikan hak partisipasi publik, terutama masyarakat adat yang paling terdampak.

Kritik ini mencuat dalam diskusi publik bertajuk “Uji Formil UU KSDAHE & Pentingnya Pengakuan Serta Perlindungan Masyarakat Adat” yang digelar Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat di Rumah AMAN pada Rabu (7/5/25).

Dalam wawanacara, Lasti Fardilla Noor dari Knowledge Management Working Group ICCAs Indonesia (WGII) menilai bahwa proses penyusunan revisi UU Konservasi telah melanggar prinsip-prinsip partisipasi yang seharusnya dijamin oleh penyusun undang-undang.

“Ini menunjukkan indikasi bahwa tidak adanya transparansi dokumen. Kami bahkan seperti hanya menjadi token partisipasi,” ujar Lasti saat diwawancarai reporter Greenmind.id.

Ia menegaskan bahwa dari empat prinsip partisipasi bermakna—yaitu hak untuk mengetahui, didengar, dipertimbangkan, dan dijelaskan—hanya hak untuk didengar yang dipenuhi, itu pun hanya sebatas formalitas.

Menurutnya, laporan hasil pembahasan revisi UU yang seharusnya dapat diakses publik hanya tersedia 4 dari 48 laporan. Bahkan, permintaan informasi yang diajukan melalui PPID DPR RI pun tidak membuahkan hasil memuaskan.

“Link yang diberikan berisi dokumen yang tidak bisa diakses. Ini menunjukkan indikasi kuat tidak adanya transparansi,” jelasnya.

Ia juga menambahkan bahwa keterlibatan masyarakat sipil dalam proses legislasi selama ini hanya bersifat simbolis. “Kami hanya diundang sekali dan tidak pernah tahu apakah masukan kami dijadikan bahan pertimbangan” ungkapnya.

Menanggapi proses yang dinilai tertutup dan tidak akuntabel, WGII bersama jaringan masyarakat sipil menyatakan kesiapannya mengajukan uji formil ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menilai bahwa DPR telah gagal menjalankan kewajiban konstitusional untuk menjamin partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang.

“Kami cukup percaya diri untuk mengajukan uji formil karena dari prosesnya saja sudah cacat,” tegas Lasti.

Pemerintah dan DPR diminta segera membuka ruang dialog yang setara dan menjamin keterlibatan aktif masyarakat adat serta organisasi sipil dalam proses legislasi, guna mencegah tumpang tindih kebijakan dan pelanggaran hak asasi.

Bagikan ke :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *