Green Mind Education | Kota Bogor – Di tengah krisis pangan dan iklim yang mengancam, mungkin jawabannya terletak bukan pada teknologi canggih, melainkan pada kebijaksanaan yang telah lama kita abaikan? Muhammad Aning, petani berusia 70-an tahun, Ketua Kelompok Tani Dewasa (KTD) Lemah Duhur di Desa Mulyaharja, Bogor, mengingatkan kita pada kearifan yang hampir terlupakan: “Kita jaga alam, alam juga jaga kita.” Filsafat sederhana ini bukan sekedar slogan, melainkan perwujudan nyata yang telah mengangkatnya sebagai pelopor pertanian organik.
Pertanian organik bukan sekadar tren, melainkan solusi holistik yang mengintegrasikan kearifan nenek moyang dengan sains modern. Ini merupakan jawaban konkret untuk tantangan global seperti degradasi tanah dan perubahan iklim. Menurut laporan terbaru Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) tahun 2023, praktik organik meningkatkan kesehatan tanah, keanekaragaman hayati, dan ketahanan terhadap stres iklim. Dengan tingkat erosi tanah Indonesia yang mencapai 30-60 ton/hektar/tahun (BPS, 2022), kita tidak punya waktu untuk mengakhiri transisi ini.
Di era mana pupuk kimia menjadi “senjata” utama petani, Aning memilih “melucuti” diri. Sejak tahun 2000-an, ia beralih ke pupuk organik. “Tadinya kita pakai pupuk urea, tapi sekarang mengandalkan alam saja, kita olah, kita kembalikan,” ujarnya. Hasilnya? “Tanah semakin gembur, tidak gersang, tidak retak-retak.” Ini bukan sekedar anekdot. Studi terbaru Institut Pertanian Bogor (2023) menunjukkan, melestarikan predator alami dapat mengurangi kebutuhan pestisida hingga 60% tanpa mengurangi hasil panen.
Di Indonesia, tren positif terlihat jelas. Kementerian Pertanian mencatat peningkatan luas lahan organik dari 208.042 hektar (2019) menjadi 251.630 hektar (2021). Di Bogor sendiri, sejak kampanye ‘Kembali ke Alam’ tahun 2022, jumlah petani organik naik 30% (Dinas Pertanian Bogor, 2023). Namun, di balik angka yang menjanjikan, tersimpan perjuangan. “Sertifikat organik saya dapat tahun 2011-2012, tapi perpanjangan setiap tahun mahal, hampir 5 juta,” keluh Aning.
Beberapa kritik mungkin menganggap pertanian organik kurang produktif. Namun studi dari Universitas Wageningen (2022) menunjukkan, dengan manajemen yang tepat, hasil panen organik setara dengan pertanian konvensional, dengan dampak lingkungan jauh lebih rendah. Justru, sistem sertifikasi yang menjadi hambatan. Universitas Penelitian Gadjah Mada (2022) mengungkap, biaya tinggi dan prosedur rumit menjadi tantangan utama bagi petani kecil.
Sistem Sertifikasi Berbasis Komunitas
Solusinya? Sistem sertifikasi berbasis komunitas, seperti di Filipina, di mana petani saling mengawasi, mengurangi biaya sertifikasi pihak ketiga. “Ini bisa jadi model untuk Indonesia,” ujar Dr. Maria Santos, ahli kebijakan pertanian dari Universitas Indonesia. “Dengan biaya sertifikasi yang lebih terjangkau, lebih banyak petani kecil bisa masuk pasar organik.”
Aning tidak hanya bertani, tapi berasumsi etika lingkungan. Ia menerapkan “agroekologi”, membiarkan musuh alami dan hama hidup berdampingan. “Jangan membasmi musuh alami, hama, atau penyakit. Biarkan saja, malah perbanyak musuh alaminya,” terangnya. Hal ini sejalan dengan prinsip “deep ecology” Arne Næss: semua bentuk kehidupan mempunyai nilai intrinsik, terlepas dari manfaatnya bagi manusia.
“Makanya saya hormati kepada semua kelompok tani, jangan membasmi musuh alami,” ajak Aning. Ini bukan sekadar romantisme. Menurut Prof. Damayanti dari IPB, “Integrasi kearifan lokal dengan sains modern adalah kunci pertanian berkelanjutan. Data kami menunjukkan, lahan yang menerapkan prinsip ini 40% lebih tahan terhadap perubahan cuaca ekstrem.”
Di tengah dijanjikan sebagai pelopor, Aning tetap rendah hati. “Saya kalau dipanggil atau kedatangan dari kementerian suka malu, karena saya ala kadarnya, gabisa bicara,” Ujarnya. Namun, dibalik kerendahan hati, terdapat pencapaian yang luar biasa. Dengan lahan organik yang terus bertambah, dari 3 hektar menjadi 5 hektar, serta mendapat penghargaan dari kompetisi beras organik tingkat provinsi, Aning membuktikan bahwa kualitas tidak selalu berbanding lurus dengan gelar akademis.
Kisah Muhammad Aning adalah panggilan untuk introspeksi. Di tengah krisis pangan dan iklim yang mengancam, mungkin jawabannya tidak terletak pada teknologi canggih, melainkan pada kebijaksanaan yang telah lama kita abaikan. Pertanian organik bukan sekadar teknik, melainkan filosofi yang mengajak kita untuk mendefinisikan ulang hubungan kita dengan alam. Seperti yang dikatakan Aning, “Kita jaga alam, alam juga jaga kita.” Di dalam singkatnya kalimat itu, terkandung kunci keinginan yang kita cari-cari.
Penulis | Editor : Ina Elfita Rahmawati
One thought on “Revolusi Sunyi Pertanian Organik : Petani Bogor Berbicara Melalui Alam”