Greenmind, Bogor – Udara sejuk yang dulu menjadi identitas Kota Bogor perlahan mulai berubah. Di pagi hari, kabut tipis yang menyelimuti langit kota hujan tak lagi sekadar embun, melainkan bercampur dengan polutan yang kian mengkhawatirkan.
Bagi warga yang setiap hari beraktivitas di jalan raya, kondisi ini terasa nyata. Helm dan masker menjadi teman setia para pengendara. “Kalau sore sampai malam, sering batuk-batuk karena udara terasa berat,” kata Sinta, seorang mahasiswi yang setiap hari menempuh perjalanan dari Dramaga ke pusat kota.
Langit Bogor yang Tercemar
Data pemantauan kualitas udara mencatat, sepanjang malam hingga dini hari, indeks kualitas udara (AQI) di Bogor berada di kisaran 117 hingga 170. Angka ini masuk kategori “sedang” hingga “tidak sehat bagi kelompok sensitif”. Polutan utama yang terdeteksi meliputi PM2.5, SO₂, NO₂, CO, hingga O₃.
Konsentrasi SO₂ tercatat mencapai 126 µg/m³, sementara PM2.5 sekitar 6,2 µg/m³—angka yang sudah melebihi batas panduan WHO. Penelitian di Bogor juga membuktikan adanya hubungan erat antara polusi udara dengan meningkatnya kasus penyakit pernapasan, seperti asma dan bronkitis, terutama pada anak-anak maupun lansia.
Sumber pencemar terbesar datang dari kendaraan bermotor, yang menyumbang lebih dari 30 persen polusi udara di Jabodetabek. Belum lagi, praktik pembakaran sampah terbuka yang masih sering ditemui di permukiman.
Sungai yang Penuh Plastik

Selain udara, sampah plastik kini menjadi “luka lama” yang belum kunjung sembuh. Setiap harinya, Bogor menghasilkan sekitar 2.742 meter kubik sampah, dengan biaya pengelolaan lebih dari Rp19 miliar per tahun.
Meski sudah bergabung dalam program Plastic Smart Cities bersama WWF sejak 2021, sampah plastik masih berserakan, terutama di aliran Sungai Ciliwung dan Cisadane.
Pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 lalu, ratusan relawan turun tangan membersihkan bantaran Ciliwung. Dalam beberapa jam, mereka berhasil mengumpulkan lebih dari 600 kilogram sampah plastik. Pemandangan itu menjadi bukti betapa berat beban yang ditanggung sungai di kota hujan ini.
Sampah Menumpuk, Warga Menanggung
Masalah tak berhenti di situ. Di Kota Bogor, dari total produksi sampah 2.700 ton per hari, hanya sekitar 1.200 ton yang bisa diangkut dan diolah. Sisanya, sekitar 1.500 ton per hari, tercecer di lingkungan. Banyak yang akhirnya hanyut ke sungai, atau dibiarkan menumpuk di lahan terbuka.
Kondisi ini membuat warga waswas. Selain mengganggu estetika kota, penumpukan sampah juga menimbulkan risiko banjir dan penyakit.
Mencari Jalan Keluar
Para aktivis menilai, masalah ini harus segera ditangani. Sejumlah solusi telah diusulkan: pembatasan emisi kendaraan, larangan tegas pembakaran sampah, pembangunan fasilitas pengolahan sampah di tiap kecamatan, hingga edukasi masyarakat untuk memilah sampah dari rumah.
Bogor sebenarnya memiliki modal kuat. Sebagai kota hijau dan pusat pendidikan, Bogor bisa menjadi contoh kota berkelanjutan di Indonesia. Namun, tanpa kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, polusi udara dan sampah plastik hanya akan menjadi “PR besar” yang tak pernah selesai.
Kini, pilihan ada di tangan semua pihak: membiarkan kota hujan terus tercekik, atau bersama-sama mengembalikan wajah Bogor yang hijau, segar, dan sehat.