Di tengah ancaman deforestasi, krisis iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati, Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia (MUNASAIN) Bogor muncul sebagai penjaga pengetahuan tradisional yang menghubungkan manusia dengan alam.
Museum ini tidak hanya menyimpan koleksi flora dan fauna, tetapi juga menceritakan bagaimana masyarakat Indonesia sejak lama memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan—pelajaran penting di tengah kerusakan lingkungan yang kian nyata.
Menelusuri Warisan Alam dan Budaya
Sejak diresmikan pada 18 Mei 1982 sebagai Museum Etnobotani Indonesia (MEI) oleh Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie, museum ini telah menghimpun lebih dari 1.200 koleksi yang menggambarkan eratnya hubungan manusia dengan tumbuhan.

Setelah melalui revitalisasi, MEI resmi berganti nama menjadi Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia (MUNASAIN) pada 31 Agustus 2016, dengan peresmian dipimpin oleh Prof. Enny Sudarmonowati, memperluas fungsi museum sebagai pusat edukasi ilmiah dan konservasi alam.
Menurut Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia, koleksi ini mencakup peralatan tradisional, pakaian adat, ramuan obat, hingga bahan pangan lokal, menegaskan bahwa pengetahuan etnobotani merupakan kearifan penting untuk keberlanjutan hidup.
Hutan yang Hilang dan Risiko Biodiversitas
Pesan museum ini semakin relevan ketika dikaitkan dengan deforestasi yang masih menjadi masalah serius di Indonesia. Berdasarkan laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia 2020 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas hutan yang hilang pada periode 2020–2021 mencapai 113,5 ribu hektare. KLHK menekankan bahwa kehilangan hutan tidak hanya berarti hilangnya tutupan vegetasi, tetapi juga punahnya habitat ribuan spesies flora dan fauna endemik.
Jainuddin (2023) dalam jurnal Humanisa menambahkan bahwa penurunan tutupan hutan memperburuk pemanasan global, memicu perubahan pola cuaca ekstrem, serta berdampak langsung pada banjir, kekeringan, dan penurunan produktivitas pertanian.
Ketika Iklim Mengirim Sinyal Bahaya
Krisis iklim yang diperburuk oleh laju deforestasi semakin nyata dirasakan masyarakat. Penurunan tutupan hutan mengurangi kemampuan bumi menyerap karbon dioksida, gas rumah kaca utama penyebab pemanasan global.
Dampaknya bukan hanya bagi lingkungan, tetapi juga bagi kehidupan manusia: meningkatnya risiko banjir, kekeringan, erosi tanah, hingga menurunnya hasil pertanian yang menopang kebutuhan lokal.
Belajar dari Koleksi: Alam dan Budaya Bersinergi
MUNASAIN Bogor menunjukkan bahwa menjaga alam berarti menjaga budaya. Koleksi dan narasi yang dipamerkan memperlihatkan bagaimana masyarakat adat hidup selaras dengan alam, memanfaatkan sumber daya tanpa merusaknya.
Praktik sederhana seperti pemanfaatan tanaman obat, pola tanam berkelanjutan, atau penggunaan bambu dalam kehidupan sehari-hari menjadi solusi lokal yang relevan dalam menghadapi isu global seperti deforestasi, krisis iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Museum ini bukan sekadar ruang penyimpanan benda kuno, tapi ruang edukasi dan refleksi. Dalam setiap anyaman bambu, ramuan obat, dan hasil bumi yang dipamerkan, tersimpan pesan bahwa manusia tidak bisa melepaskan diri dari alam.
Menghubungkan Tradisi dengan Pelestarian Lingkungan

MUNASAIN Bogor menegaskan bahwa pelestarian budaya tidak bisa dilepaskan dari pelestarian lingkungan. Dengan memahami cara masyarakat adat memanfaatkan tumbuhan secara berkelanjutan, pengunjung mendapat wawasan praktis tentang bagaimana menjaga ekosistem di sekitar mereka.
Pengajaran dan pengalaman langsung di museum membantu masyarakat menyadari bahwa konservasi bukan hanya soal hukum atau regulasi, tapi juga soal kebiasaan, budaya, dan pengetahuan lokal yang diwariskan secara turun-temurun.
Museum ini menjadi bukti nyata bahwa edukasi lingkungan bisa dikemas secara menarik, berbasiskan budaya, dan relevan dengan isu global seperti deforestasi, krisis iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati.