Kerusuhan yang pecah di Nepal baru-baru ini, hingga mengakibatkan pembakaran sejumlah gedung pemerintahan, menyisakan luka bukan hanya bagi stabilitas politik, tetapi juga bagi lingkungan hidup. Api yang melahap bangunan bukan sekadar menghancurkan infrastruktur, melainkan turut melepas jejak karbon dan polusi beracun ke udara.

Asap tebal yang mengepul dari gedung-gedung terbakar, mengandung partikel berbahaya yang berpotensi memperburuk kualitas udara di kota-kota Nepal yang sudah rapuh oleh polusi kendaraan dan aktivitas industri. Dalam situasi darurat sosial-politik, isu lingkungan kerap terlupakan, padahal dampaknya bisa jauh lebih panjang dibanding umur kerusuhan itu sendiri.
Selain itu, pembakaran gedung pemerintahan berarti hilangnya pusat administrasi yang selama ini juga berfungsi mengatur kebijakan tata ruang, pengelolaan energi, dan konservasi. Ketika gedung-gedung itu hancur, bukan hanya dokumen penting yang lenyap, tetapi juga arah kebijakan yang berpotensi terhenti.
Kerusuhan semacam ini ibarat lingkaran setan. Ketidakstabilan politik memicu kekacauan sosial, lalu lingkungan menjadi korban tak kasat mata. Pohon-pohon ditebang untuk memperbaiki kerusakan, material bangunan yang terbakar menambah limbah konstruksi, dan energi tambahan dibutuhkan untuk rekonstruksi. Semua ini memperbesar jejak ekologi sebuah konflik.
Sudah saatnya kita melihat kerusuhan politik tidak hanya sebagai tragedi kemanusiaan, tetapi juga sebagai krisis lingkungan. Api yang membakar gedung-gedung itu sesungguhnya turut membakar masa depan bumi. Dan dalam konteks Nepal, luka lingkungan ini bisa menjadi pengingat bahwa stabilitas sosial, politik, dan ekologi sejatinya saling terkait erat.