Program Makan Bergizi Gratis (MBG) belakangan ramai diperbincangkan setelah sejumlah kasus keracunan makanan massal di sekolah mencuat. Ironisnya, program yang digadang-gadang sebagai upaya meningkatkan kualitas gizi anak justru menimbulkan pertanyaan besar: apakah benar sudah aman, sehat, dan berkelanjutan? Lebih jauh, program ini bahkan menyingkap isu lain yang tak kalah penting: potensi meningkatnya food waste di Indonesia.
Ironi di Balik Program Gizi Gratis

Tujuan awal program MBG memang mulia: memastikan anak-anak sekolah mendapatkan asupan gizi yang layak. Namun, sejumlah laporan keracunan massal di berbagai daerah membuat publik cemas.
Laporan dari DetikNews, lebih dari 1.333 siswa menjadi korban keracunan makanan dari program MBG di Kabupaten Bandung Barat. Bahkan, Kantor Staf Presiden (KSP) mencatat jumlah korban di seluruh Indonesia sudah mencapai 5.000 orang (Tempo, 2025). Fakta ini memunculkan ironi: program yang seharusnya menjamin kesehatan justru berisiko membahayakan.
Tragedi ini bukan hanya soal lemahnya pengawasan makanan, tapi juga membuka isu lain yang lebih luas: potensi food waste di Indonesia akibat program MBG. Bayangkan berapa banyak makanan yang tidak termakan karena rusak, basi, atau dibuang setelah insiden ini.
Ironi pun muncul: program yang ditujukan untuk “memberi makan sehat bagi anak bangsa” justru bisa menciptakan masalah baru berupa sampah makanan sekolah dan ancaman lingkungan.
Food Waste: Masalah Besar yang Tersembunyi
Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat pemborosan pangan tertinggi di dunia, yaitu sekitar 23–48 juta ton per tahun (Bappenas, 2021). Ironinya, di saat sebagian masyarakat masih kesulitan memenuhi kebutuhan gizi harian, makanan dalam jumlah besar justru terbuang sia-sia.
Jika program MBG tidak dikelola dengan sistem distribusi yang matang, potensi food waste akan semakin besar. Bayangkan ribuan sekolah setiap hari menerima makanan dalam jumlah massal. Sekali saja ada kesalahan pengelolaan, maka limbah makanan yang tercipta akan luar biasa besar. Hal ini bukan hanya soal inefisiensi anggaran, tetapi juga berdampak langsung pada lingkungan melalui peningkatan emisi gas metana dari sisa makanan yang membusuk.
Dalam program MBG, makanan diproduksi secara massal dan disebar ke ribuan sekolah. Proses ini berisiko menghasilkan kelebihan porsi. Ketika prediksi jumlah siswa tidak tepat, makanan berlebih sering berakhir di tong sampah. Di sisi lain, standar penyimpanan dan distribusi yang kurang memadai memperbesar risiko makanan basi sebelum sempat dikonsumsi.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa pemborosan bukan hanya akibat perilaku konsumsi, tetapi juga kelemahan manajemen produksi dan distribusi. Tanpa perbaikan sistem, MBG justru akan menambah tumpukan food waste di Indonesia, yang pada akhirnya merugikan banyak pihak: lingkungan tercemar, anggaran negara terbuang, dan manfaat gizi untuk anak-anak pun berkurang drastis.
Gizi, Keselamatan, dan Keberlanjutan
Ketika bicara gizi, kita tidak bisa mengabaikan aspek keselamatan dan keberlanjutan. Gizi yang baik tidak hanya tentang kandungan nutrisi, tetapi juga bagaimana makanan itu diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Jika makanan sehat diproduksi dengan standar buruk hingga menyebabkan keracunan, maka tujuan awal pun gagal tercapai. Jika makanan bergizi hanya berakhir di tempat sampah, maka manfaatnya pun nihil.
Dalam konteks MBG, pemerintah dan pihak terkait perlu mengintegrasikan aspek food safety dan food sustainability. Artinya, pengadaan bahan pangan harus terjamin kualitasnya, mekanisme distribusi perlu diawasi ketat, dan edukasi kepada anak-anak juga penting agar mereka lebih bijak dalam mengonsumsi makanan.
Tantangan Serius dan Jalan Keluar
Program MBG sejatinya bisa menjadi langkah strategis untuk mengurangi masalah gizi kronis di Indonesia. Namun, masalah utama terletak pada eksekusi yang masih jauh dari kata matang. Rantai produksi hingga distribusi melibatkan banyak pihak—mulai dari penyedia bahan pangan, katering lokal, sekolah, dinas pendidikan, hingga pengawas lapangan. Tanpa koordinasi yang solid, celah kesalahan akan semakin besar dan membahayakan anak-anak.
Pertama, persoalan pengawasan kualitas makanan masih lemah. Vendor penyedia pangan sering kali hanya mengejar kuantitas dengan harga murah, sementara standar gizi dan kebersihan kurang diperhatikan. Di sisi lain, sekolah tidak selalu memiliki kapasitas untuk memantau secara detail kualitas makanan yang masuk. Akibatnya, kasus keracunan bisa terus berulang.
Kedua, sistem distribusi massal rawan menciptakan food waste. Kesalahan prediksi jumlah siswa, keterlambatan pengiriman, hingga standar penyimpanan yang buruk menyebabkan makanan basi atau terbuang sebelum sempat dikonsumsi. Jika tidak ada audit rantai pasok yang jelas, maka pemborosan akan terus berlanjut, menguras anggaran negara sekaligus mencemari lingkungan.
Ketiga, transparansi program masih minim. Publik jarang mendapat akses terhadap data pengadaan, standar penyediaan menu, maupun mekanisme evaluasi. Padahal, keterlibatan masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi lingkungan penting untuk mendorong akuntabilitas. Tanpa transparansi, sulit memastikan apakah anggaran besar yang digelontorkan benar-benar efektif.
Rekomendasi yang dapat diajukan antara lain: memperketat seleksi vendor dengan standar gizi dan keamanan pangan yang terukur; membangun sistem prediksi dan distribusi berbasis data agar lebih presisi; serta menyiapkan mekanisme pengelolaan sisa makanan agar tidak menumpuk menjadi limbah. Lebih jauh, melibatkan pakar gizi, aktivis lingkungan, dan perwakilan masyarakat dalam tim pengawas bisa memperkuat kontrol dari berbagai sisi.
Dengan perbaikan menyeluruh, MBG bukan hanya program karitatif sesaat, melainkan investasi jangka panjang bagi kesehatan anak-anak sekaligus keberlanjutan lingkungan.