Greenmind, Jakarta, 24 September 2025 – Peringatan Hari Tani Nasional kembali menjadi momentum refleksi atas keberlanjutan pertanian Indonesia di tengah ancaman alih fungsi lahan, minimnya regenerasi petani, hingga rendahnya insentif ekonomi yang diterima pelaku usaha tani.
Hari Tani yang diperingati setiap 24 September sejak lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 ini sejatinya dimaknai sebagai tonggak reformasi agraria. Namun, berbagai persoalan yang membelit petani justru semakin nyata dan mendesak untuk ditangani.
Di sejumlah daerah, ribuan petani turun ke jalan menuntut perbaikan tata kelola pangan serta percepatan reforma agraria. Mereka menilai ketimpangan kepemilikan lahan, mahalnya biaya produksi, dan harga jual hasil pertanian yang rendah telah membuat profesi petani kian terpinggirkan.
Tenaga Ahli Aliansi Peneliti Pertanian Indonesia (APPERTANI), yang juga peneliti purnabakti Kementerian Pertanian, mengingatkan bahwa keberlanjutan pertanian adalah soal hidup dan mati bangsa. “Jika 30 persen petani berhenti menanam atau mengurangi intensitas produksi, sistem pangan nasional bisa terguncang. Jika mencapai 50 persen, pangan bisa kolaps dan rakyat menghadapi krisis serius,” ujarnya.
Ia menegaskan, keberlanjutan pertanian bertumpu pada tiga pilar utama: ketersediaan faktor produksi (lahan, air, dan kesuburan tanah), keberlanjutan pelaku usaha pertanian (regenerasi petani), serta keuntungan yang layak dari usaha tani. Tanpa itu, profesi petani bisa hilang ditelan zaman, layaknya industri pita kaset yang punah.
Menteri Pertanian sebelumnya juga menekankan pentingnya keberpihakan negara kepada petani. “Ketahanan pangan nasional tidak akan tercapai tanpa akses lahan, modal, dan teknologi yang memadai bagi petani sebagai garda terdepan penyedia pangan,” katanya.
Namun, hingga kini, solusi konkret di lapangan masih terbatas. Lahan subur terus berkurang akibat alih fungsi, air irigasi makin langka, dan rata-rata usia petani kian menua tanpa regenerasi yang sepadan. Sementara, kalangan muda lebih tertarik meninggalkan sektor pertanian karena minimnya penghargaan sosial dan rendahnya keuntungan usaha tani.
Sejumlah pakar menilai, pemerintah perlu segera memberi insentif ekonomi yang layak, kemudahan akses kredit, penyuluhan pertanian yang efektif, hingga jaminan kesehatan dan pendidikan bagi keluarga petani. Tanpa langkah nyata, keberlanjutan pertanian hanya akan menjadi jargon dalam ruang seminar, sementara di lapangan petani semakin kehilangan semangat.
Refleksi Hari Tani kali ini menjadi alarm: tanpa petani, tidak ada pangan; tanpa pangan, bangsa terancam kehilangan kedaulatan. Keberlanjutan pertanian bukan sekadar urusan petani, melainkan tanggung jawab seluruh bangsa untuk menjaga masa depan kehidupan.