Greenmind, Bogor – Sabtu siang (20/9/2025), Stadion Pakansari, Cibinong, berubah menjadi lautan manusia. Ratusan pengunjung berdesakan menyaksikan berbagai atraksi dalam Bulan Bakti Peternakan & Kesehatan Hewan ke-189. Dari pameran ternak hingga layanan kesehatan hewan gratis, semua menarik perhatian. Namun satu atraksi berhasil menjadi magnet utama: kontes adu domba Garut.
Bagi penonton, suasana riuh dan sorak-sorai mungkin sekadar hiburan. Tapi di balik tandukan keras domba Garut, tersimpan warisan budaya Sunda yang telah hidup berabad-abad lamanya.
Sejarah Adu Domba Garut

Tradisi adu domba diperkirakan sudah ada sejak abad ke-19 di daerah Limbangan, Garut. Saat itu, masyarakat Sunda memelihara domba bukan hanya untuk diambil daging dan bulunya, melainkan juga sebagai simbol status sosial dan kebanggaan.
Domba-domba dengan tubuh gagah dan tanduk melingkar dianggap istimewa, bahkan sering dijadikan persembahan dalam upacara adat. Dari sinilah tradisi adu domba lahir, bukan sebagai pertarungan mematikan, melainkan ajang adu ketangkasan dan ketangguhan.
Pada 1970-an, adu domba mulai lebih terorganisir dengan adanya komunitas dan padepokan. Perlombaan dilakukan dengan aturan tertentu: domba tidak boleh dilukai, kesehatan harus dijaga, dan tandukan hanya dilakukan beberapa kali sebelum dinyatakan selesai.
Simbol Identitas dan Kebersamaan
Bagi masyarakat Sunda, adu domba adalah lebih dari sekadar tontonan rakyat. Ia menjadi simbol kebersamaan, kebanggaan daerah, dan identitas kultural. Domba Garut bahkan pernah dijadikan maskot dalam berbagai kegiatan di Jawa Barat, menegaskan posisinya sebagai ikon budaya.
Di dalam komunitas, adu domba juga mempererat persaudaraan. Setiap pertandingan bukan hanya mempertemukan domba, tapi juga pemilik dan komunitasnya dalam lingkaran sosial yang lebih luas.
Generasi Muda dan Tantangan Zaman
Namun kini, keberlangsungan tradisi ini menghadapi tantangan besar. Generasi muda yang tumbuh di era digital kerap lebih akrab dengan gawai ketimbang gelanggang adu domba. Banyak dari mereka bahkan tidak lagi mengenal sejarah atau filosofi di balik budaya ini.
“Jangan sampai domba adu khas Jawa Barat hilang ditelan masa,” kata Mila (20), peserta muda dari Bandung yang masih setia merawat domba Garut. Baginya, menjaga tradisi bukan sekadar melatih hewan, melainkan merawat identitas.
Sayangnya, Mila hanyalah satu dari sedikit contoh generasi muda yang terjun langsung. Sebagian besar anak muda Jawa Barat lebih mengenal budaya populer global dibandingkan warisan leluhur mereka sendiri.
Warisan yang Perlu Dihidupkan Kembali
Adu domba Garut bukanlah sekadar tontonan keras antarhewan. Ia adalah cermin sejarah, simbol kebanggaan Sunda, dan warisan yang seharusnya tidak hilang. Tanpa regenerasi, budaya ini berisiko tinggal kenangan.
Peran pemerintah daerah, komunitas budaya, hingga lembaga pendidikan sangat dibutuhkan untuk memperkenalkan kembali nilai-nilai tradisi ini kepada generasi muda. Lewat festival, edukasi budaya di sekolah, hingga digitalisasi konten, adu domba bisa tetap hidup tanpa kehilangan esensinya.
Karena sejatinya, menjaga budaya bukan hanya urusan orang tua atau komunitas, melainkan juga tanggung jawab generasi muda agar warisan leluhur tidak terkubur oleh zaman.