Ciptagelar Membuktikan Siapa yang Lebih Siap Menghadapi Krisis Iklim

Greenmind, Sukabumi – Pagi di Kasepuhan Ciptagelar selalu dimulai dengan keheningan yang khas. Kabut tipis menuruni perbukitan di kaki Gunung Halimun-Salak, sementara suara ayam berkokok berpadu dengan gemericik sungai yang mengalir deras. Di sini, alam bukan sekadar latar kehidupan, melainkan sahabat yang dijaga dengan sepenuh hati.

Tradisi yang Menyatu dengan Alam

Bagi masyarakat Ciptagelar, padi memiliki kedudukan istimewa. Ia bukan hanya makanan pokok, tetapi simbol kehidupan yang diwariskan turun-temurun. Seluruh siklus bercocok tanam, mulai dari menanam, memanen, hingga menyimpan hasil panen, selalu dibalut ritual adat. Puncaknya adalah Seren Taun, perayaan syukur panen yang meriah dengan tarian tradisional, tabuhan Dog-dog Lojor, hingga atraksi budaya khas Sunda.

Upacara ini bukan sekadar pesta rakyat, melainkan pengingat bahwa manusia hanya bisa hidup harmonis ketika menjaga keseimbangan dengan alam.

Menjaga Hutan, Menjaga Kehidupan

Harmoni itu tercermin dari cara warga menjaga hutan. Ada wilayah yang disebut Leuweung Tutupan, kawasan hutan yang sama sekali tidak boleh diganggu. Fungsi hutan ini sangat vital: menjaga aliran air agar tetap menghidupi sawah, sungai, hingga kebutuhan sehari-hari.

Tradisi menanam pohon setiap awal tahun menegaskan bagaimana alam diperlakukan sebagai warisan yang harus dijaga, bukan dieksploitasi. Hasilnya, Ciptagelar tetap hijau, sungai mengalir jernih, bahkan mampu menghasilkan energi bersih melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh). Desa ini pun hidup mandiri energi tanpa harus merusak lingkungan.

Leuit: Lumbung Padi, Lumbung Kehidupan

Kearifan lokal Ciptagelar juga tampak pada sistem pangan. Setiap keluarga wajib menyisihkan sebagian hasil panen untuk disimpan di leuit—lumbung padi tradisional. Dari lumbung inilah, cadangan pangan desa bisa bertahan hingga bertahun-tahun, bahkan saat gagal panen sekalipun.

Lumbung ini tidak hanya menjadi tempat penyimpanan, tetapi juga simbol kebersamaan. Padi dianggap titipan bersama, bukan milik perorangan semata. Dengan sistem ini, rasa aman pangan selalu terjaga.

Tradisi dan Teknologi yang Berjalan Beriringan

Meski teguh memegang adat, Ciptagelar bukan berarti menutup diri dari modernitas. Teknologi hadir dalam bentuk televisi komunitas, radio lokal, hingga jaringan Wi-Fi yang menjangkau desa. Bedanya, teknologi di sini dimanfaatkan untuk memperkuat budaya, bukan menggesernya.

Energi dari PLTMh menopang aktivitas digital warga, sementara siaran televisi dan radio menjadi sarana untuk menyuarakan nilai-nilai adat.

Pelajaran untuk Kota Besar

Kehidupan di Ciptagelar menjadi potret nyata bagaimana tradisi dan modernitas bisa berjalan beriringan tanpa merusak alam. Warga hidup sederhana, tetapi cukup, dengan alam yang tetap lestari untuk generasi berikutnya.

Di tengah hiruk pikuk kota besar dan tantangan perubahan iklim, Ciptagelar hadir sebagai oase yang memberi pelajaran berharga: harmoni antara manusia, budaya, dan alam bukan sekadar wacana, melainkan kenyataan yang terus dijaga.

Bagikan ke :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *