Thrifting: Ramah Lingkungan atau Cuma Tren Konsumsi Baru?

Thrifting disebut solusi lawan fast fashion, tapi benarkah ramah lingkungan? Cari tahu dampak dan kontroversinya di balik tren ini.

Sumber gambar: Pexels.com

Thrifting, alias belanja pakaian bekas, sempat dipuji sebagai gerakan ramah lingkungan dan anti-fast fashion. Generasi muda menyambutnya sebagai bentuk konsumsi cerdas dan kreatif—sebuah alternatif yang membumi di tengah limbah mode cepat (fast fashion) yang mengerikan. Namun, saat thrifting semakin mainstream, muncul pertanyaan: apakah ini benar-benar solusi ramah lingkungan atau hanya tren baru dalam sistem kapitalisme konsumtif?

Mengapa Thrifting Disebut Ramah Lingkungan

Tidak bisa disangkal bahwa thrifting memiliki dampak positif. Dengan memperpanjang siklus hidup pakaian, thrifting mengurangi permintaan produksi baru yang merusak lingkungan—menghemat air, energi, dan sumber daya. Misalnya, industri fashion menyumbang sekitar 10% emisi karbon global dan menghasilkan limbah tekstil besar, sehingga thrifting menjadi salah satu perwujudan prinsip reduce, reuse, recycle yang nyata.

Selain itu, di wilayah seperti New South Wales, ekonomi reuse (termasuk thrifting) berhasil menghindarkan 321.000 ton CO₂ dari dilepas ke atmosfer dan menciptakan lapangan kerja lebih banyak daripada daur ulang atau pembuangan.

Di Indonesia sendiri, tren thrifting juga dianggap berkontribusi dalam menekan masuknya limbah tekstil dari fast fashion global, yang setiap tahunnya menyumbang lebih dari 92 juta ton limbah tekstil dunia. Dengan kata lain, setiap pembelian pakaian bekas bukan hanya mengurangi potensi limbah, tetapi juga memberi dampak nyata terhadap pengurangan jejak karbon dan mendukung ekonomi sirkular yang semakin mendesak untuk diwujudkan.

Ketika Thrifting Jadi Tren Konsumerisme

Meski berawal dari semangat keberlanjutan, popularitas thrifting kini menghadapi paradoks. Alih-alih sekadar membeli pakaian bekas seperlunya, banyak anak muda justru menjadikan thrifting sebagai gaya hidup konsumtif.

Fenomena haul thrifting di media sosial misalnya, mendorong orang membeli lusinan pakaian hanya untuk konten, tanpa benar-benar dipakai. Pola ini mirip dengan fast fashion—bedanya, barang yang dibeli adalah second-hand. Akibatnya, esensi thrifting sebagai gerakan ramah lingkungan terkikis oleh perilaku overconsumption yang sama-sama berisiko menambah timbunan limbah.

Selain itu, meluasnya pasar thrifting global juga menimbulkan persoalan baru. Laporan dari The Guardian (2022) menyebut bahwa impor pakaian bekas dalam jumlah besar, khususnya di negara-negara berkembang, seringkali berakhir sebagai sampah karena kualitas rendah yang sulit dijual kembali.

Hal ini menjadikan thrifting bukan hanya “alternatif ramah lingkungan”, tetapi juga potensi jalur baru bagi limbah tekstil global yang dialihkan ke pasar murah. Dengan kata lain, ketika thrifting lebih dilihat sebagai tren kapitalisme ketimbang gerakan keberlanjutan, praktik ini bisa jatuh pada jebakan yang justru ingin dihindarinya: konsumsi berlebihan dan akumulasi sampah.

Tantangan Sosial dan Etika Thrifting

Di balik citra ramah lingkungannya, thrifting juga menyimpan sejumlah tantangan sosial dan etika. Salah satunya adalah fenomena gentrifikasi thrift store, di mana toko pakaian bekas yang awalnya ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah kini dipenuhi pembeli menengah ke atas yang mencari barang unik atau “vintage”. Akibatnya, harga pakaian bekas ikut melonjak, membuat kelompok yang benar-benar membutuhkan kehilangan akses terhadap pilihan pakaian murah.

Selain itu, membanjirnya pakaian bekas impor juga menimbulkan dilema etika. Menurut laporan ABC News (2023), sebagian besar pakaian sumbangan dari negara maju yang tidak terserap di pasar lokal akhirnya diekspor ke negara berkembang, termasuk di Asia dan Afrika.

Sayangnya, banyak di antaranya tidak layak pakai sehingga justru menambah volume sampah tekstil di wilayah penerima. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah thrifting benar-benar membantu, atau sekadar memindahkan beban limbah dari satu negara ke negara lain?

Persoalan etika juga muncul dari masuknya pakaian fast fashion berkualitas rendah ke pasar thrifting. Produk semacam ini biasanya tidak tahan lama, cepat rusak, dan berakhir menjadi limbah kembali dalam waktu singkat. Situasi ini menunjukkan bahwa tanpa regulasi yang jelas, thrifting berisiko kehilangan nilai keberlanjutannya dan justru memperparah masalah lingkungan.

Agar Thrifting Benar-Benar Ramah Lingkungan

Jadi, apakah thrifting benar-benar “ramah lingkungan“? Potensinya jelas ada: mengurangi limbah, carbon footprint, dan mendukung ekonomi sirkular. Namun, jika jadi kendaraan overconsumption, greenwashing, atau malah menyisakan ketidakadilan sosial, maka semangat awalnya tersesat.

Kunci sebenarnya adalah membangun kesadaran: thrift dengan tujuan, bukan sekadar karena sedang tren. Belilah sesuai kebutuhan, pilih kualitas yang tahan lama, dan bagikan cerita di balik pakaianmu—sebagai bentuk apresiasi, bukan konsumerisme baru.

Transparansi toko, praktik donasi, hingga kolaborasi dengan komunitas lokal juga bisa memastikan thrifting tidak kehilangan ruhnya. Dengan begitu, thrifting tetap menjadi bagian solusi, bukan sekadar wajah lain dari masalah lama industri fashion.

Bagikan ke :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *