Jakarta – Di balik kemegahan status Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tersembunyi ironi besar yang mengancam keberlangsungan ribuan pulau kecil. Alih-alih dilindungi, pulau-pulau ini justru menjadi korban dari kebijakan pembangunan yang abai terhadap ekologi dan hak masyarakat lokal. Tambang, privatisasi, hingga lemahnya pengawasan, membuat pulau kecil diambang kehancuran yang tak kasat mata, namun nyata.
Menurut Badan Informasi Geospasial (BIG), Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau, dan mayoritas adalah pulau kecil yang luasnya di bawah 2.000 kilometer persegi. Forest Watch Indonesia (FWI) bahkan mencatat sekitar 19.000 pulau kecil tersebar di nusantara. Namun, nilai ekologis dan sosial dari pulau-pulau ini kini terancam oleh ekspansi industri dan tata kelola negara yang permisif.
Tambang Menjarah Pulau, Negara Memberi Karpet Merah
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengungkap, setidaknya 35 pulau kecil saat ini telah terdampak langsung aktivitas pertambangan, utamanya nikel dan batu bara. Yang mengejutkan, 195 izin usaha pertambangan (IUP) menguasai 351.933 hektare lahan di atas pulau kecil – semua atas nama pembangunan, bahkan beberapa diklaim sebagai bagian dari “pembangunan hijau”.
Contoh gamblangnya terjadi di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara. Pulau ini bukan hanya menjadi rumah bagi masyarakat adat Bajau, tetapi juga kini menjadi ladang konsesi tambang. Sekitar 73% wilayah pulau telah dikuasai tambang nikel. Hutan gundul, laut tercemar, sungai mengering—itulah harga yang harus dibayar masyarakat demi investasi yang tak menyisakan ruang hidup.
“Dulu kami bisa hidup dari laut dan air sungai, sekarang semua rusak,” ujar Hasni, warga Kabaena, kepada LSM Setya Bumi.
Privatisasi Pulau: Dari Aset Publik Menjadi Milik Segelintir Elite

Tak hanya tambang, pola privatisasi juga memperparah nasib pulau kecil. Data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat, hingga 2023 sebanyak 226 pulau kecil telah berubah fungsi menjadi milik privat—dijual untuk bisnis pariwisata, konservasi semu, hingga pertambangan.
UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil justru memberi ruang legal bagi privatisasi dan eksploitasi. Hukum yang semestinya melindungi, justru menjadi celah bagi modal menguasai ruang hidup masyarakat pesisir.
Padahal, pulau kecil menyimpan fungsi vital sebagai penyangga keanekaragaman hayati dan pertahanan alami terhadap perubahan iklim. “Pulau-pulau kecil adalah benteng terakhir kita menghadapi krisis iklim. Jika dibiarkan hilang, dampaknya akan sangat luas,” kata Sutanto Kurniawan, pakar geografi dari UGM.
Kritik Membangun: Waktunya Rombak Paradigma Pembangunan
Sudah saatnya negara menghentikan narasi sempit pembangunan yang hanya bertumpu pada eksploitasi sumber daya. Kita butuh paradigma baru: pembangunan yang memihak ekologi dan manusia, bukan korporasi dan kepentingan jangka pendek.
Langkah strategis yang harus diambil:
- Moratorium izin tambang dan privatisasi di pulau kecil.
- Revitalisasi UU Pesisir dan Pulau Kecil yang lebih berpihak pada masyarakat lokal.
- Penguatan hak masyarakat adat atas ruang hidup dan partisipasi dalam tata kelola.
- Menetapkan ribuan pulau kecil sebagai zona perlindungan ekologis dan budaya.
Pulau-pulau kecil bukan sekadar lahan kosong, tapi ruang hidup, warisan budaya, dan fondasi ketahanan bangsa. Kehancurannya bukan hanya soal hilangnya wilayah, tapi juga hilangnya masa depan.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah pulau-pulau kecil akan hilang, tapi apakah kita masih punya kemauan politik untuk menyelamatkannya?
Sumber Berita : hukamanews.com