Pengesahan Undang-Undang No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) seharusnya menjadi langkah monumental dalam penyelamatan lingkungan Indonesia. Namun, alih-alih menjadi instrumen perlindungan ekologi, undang-undang ini justru menjadi cermin buram dari wajah konservasi yang tidak berpihak pada rakyat—terutama masyarakat adat.
Keadilan yang Dipinggirkan, Prosedur yang Dimanipulasi
Legislasi seharusnya dibangun atas fondasi keterbukaan, partisipasi bermakna, dan penghormatan terhadap hak konstitusional. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Proses revisi UU KSDAHE dilakukan dalam ruang tertutup, dengan dokumen-dokumen pembahasan yang sulit diakses publik. Permintaan data resmi dijawab dengan tautan mati. Keterlibatan masyarakat adat hanya simbolis, sebatas daftar hadir dan foto dokumentasi.
Ketika hukum dibentuk tanpa keadilan prosedural, maka hasilnya pun cacat secara moral. Dalam konteks ini, kita tidak sedang membicarakan kesalahan teknis administratif, melainkan praktik sistemik yang menghilangkan suara kelompok yang selama ini menjadi garda depan perlindungan alam: masyarakat adat.
Konservasi Model Kolonial: Lestarikan Alam, Gusur Warga
UU KSDAHE versi terbaru melanjutkan watak konservasi yang eksklusif, menempatkan negara sebagai pemegang kuasa tunggal atas wilayah-wilayah yang ingin dilindungi, tanpa melihat fakta bahwa banyak dari wilayah tersebut telah dikelola masyarakat adat secara lestari selama ratusan tahun.
Paradigma ini bukan baru. Ia adalah warisan kolonial, menjadikan alam sebagai entitas yang harus ‘diselamatkan’ dari warganya sendiri. Lalu menghadirkan negara, atau investor, sebagai penyelamat tunggal. Dalam sistem seperti ini, masyarakat adat tidak hanya diabaikan mereka berisiko dikriminalisasi.
Pasal-pasal dalam UU tersebut bahkan mengancam sanksi pidana bagi pihak yang tidak mampu melaksanakan konservasi sesuai standar negara. Namun ironisnya, masyarakat tidak pernah diberi ruang sejati dalam menyusun standar tersebut.
Demokrasi Prosedural yang Tidak Menyentuh Akar Masalah
Uji formil ke Mahkamah Konstitusi kini menjadi jalan terakhir bagi masyarakat sipil untuk menuntut keadilan. Tapi MK tidak boleh sekadar menguji legalitas formal: apakah pasal ini dibuat sesuai prosedur atau tidak. Lebih dari itu, Mahkamah harus berani melihat konteks sosial-politik dari lahirnya undang-undang ini bahwa ada ketimpangan kuasa, ada ketidakseimbangan akses informasi, dan ada hak-hak yang diinjak atas nama konservasi.
UU ini, jika dibiarkan, akan menjadi preseden buruk. Ia menormalisasi bahwa pembangunan dan perlindungan alam bisa dilakukan dengan mengabaikan hak masyarakat yang hidup di dalam dan dari alam itu sendiri.
Kita Tidak Bisa Menyelamatkan Alam Sambil Mengorbankan Manusia
Konservasi sejati hanya mungkin jika dilakukan bersama mereka yang menjaga ekosistem dengan kehidupan mereka sendiri. Mengatur tanpa mendengar, merancang tanpa melibatkan, dan menegakkan hukum tanpa empati adalah bentuk kekerasan struktural yang dilegalkan oleh negara.
Konservasi tanpa keadilan bukanlah solusi, melainkan sumber konflik baru. Kita tidak bisa menyelamatkan hutan sambil menggusur penghuninya. Kita tidak bisa menyelamatkan satwa langka sambil membungkam komunitas yang telah hidup berdampingan dengannya.
Negara harus memilih: ingin membangun konservasi berbasis keadilan, atau melanggengkan konservasi berbasis kuasa.
Tanpa keadilan, konservasi hanyalah nama lain dari penggusuran.