Jakarta, GREENMIND.ID – Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyerukan agar pengesahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) tidak menjadi ancaman terhadap hak-hak masyarakat adat, melainkan menjadi momentum untuk memperkuat kolaborasi konservasi berbasis kearifan lokal.
Dalam diskusi publik yang digelar di Rumah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rabu (7/5), Ketua Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Anggi Prayoga, menyoroti sejumlah pasal dalam UU KSDAHE yang dinilai mengecualikan peran masyarakat adat dalam pengelolaan kawasan konservasi.
“UU ini semestinya menjadi jalan menuju perubahan paradigma, namun justru berisiko menghilangkan hak-hak konservasi masyarakat adat. Padahal, merekalah penjaga alam sejati di wilayah adatnya,” ujar Anggi.
Ia mengungkapkan kekhawatiran akan potensi kriminalisasi terhadap masyarakat adat serta pengusiran dari tanah leluhur mereka. Hal ini bertolak belakang dengan data Forest Watch Indonesia (FWI), yang menunjukkan bahwa 67 persen tutupan hutan Indonesia berada di wilayah adat—fakta yang menegaskan keberhasilan pengelolaan hutan secara berkelanjutan oleh masyarakat adat melalui kearifan lokal.
Koalisi pun mendorong agar penerapan UU 32/2024 dilakukan dengan mengedepankan partisipasi yang bermakna, bukan sekadar prosedural. Anggi juga kembali menekankan pentingnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah lama tertunda.
“Gerakan masyarakat sipil selama ini sangat proaktif. Kami menjalin komunikasi dengan kementerian dan lembaga terkait untuk memastikan perlindungan hak konstitusional masyarakat adat. Sekarang, negara harus menunjukkan keberpihakannya,” katanya.
Menanggapi kekhawatiran ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memastikan bahwa UU KSDAHE tidak akan menghambat akses masyarakat hukum adat terhadap hutan adat. Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono menegaskan, revisi UU justru memperkuat pengakuan legal atas wilayah adat, termasuk di dalam kawasan konservasi.
“Tidak ada hambatan. Justru ini memperkuat akses legal masyarakat hukum adat melalui mekanisme perhutanan sosial yang sudah berjalan,” tegas Bambang.
Ia juga menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat adat dalam upaya konservasi akan diperjelas lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan turunan dari UU tersebut.
Dengan adanya komitmen dari berbagai pihak, UU KSDAHE diharapkan tidak menjadi alat eksklusi, melainkan fondasi untuk membangun konservasi yang inklusif dan berkelanjutan—bersama masyarakat adat sebagai mitra utama pelindung bumi.